Sabtu, 19 Januari 2013

Panu Bernama Korupsi


Pada suatu saat saya sedang kuliah, seorang profesor, dosen saya yang sedang memberikan kuliah mengatakan sesuatu hal yang sempat membuat penghuni kelas kaget dan terdiam. Setelah beberapa saat memberikan komentar tentang korupsi di negara ini, beliau berkata bahwa negara ini sendiri memaksa rakyatnya untuk korupsi. Dan setelah itu ia berkata lagi, “Seperti saya juga korupsi.” Lalu setelahnya beliau mengutarakan korupsi yang ia lakukan adalah korupsi waktu. Di mana seharusnya ia menyediakan waktu penuh untuk universitas dan mahasiswanya, tetapi sebagian waktunya dipakai untuk mengerjakan proyek di luar kampus.

Kita semua sudah akrab pasti dengan kata korupsi yang terdapat pada judul artikel ini. Ya, korupsi. Setelah itu, tanpa berusaha ingin tahu akan kelanjutan tulisan ini, pikiran kita mungkin akan langsung mengeluarkan kata “Yah ini lagi. Udah-lah udah basi. Biar orang-orang di pemerintahan sana saja yang ngurusin itu” atau, “Ah bosen lah korupsi mulu. Gak peduli“ atau mungkin pikiran yang lainnya yang intinya kita sudah pasrah (atau tidak peduli?) akan  keadaan negara kita sekarang yang sedang diperbudak virus korupsi. Jika kita bukan orang yang berpikir seperti itu, tentu saya sangat senang. Karena ada orang (dan saya yakin masih banyak orang) yang peduli akan keadaan bangsa kita ini dan rindu untuk sebuah perubahan. Dan fokus kali ini tentang korupsi.

Sudah kita tahu bahwa korupsi sudah begitu membudaya di negeri ini. Indonesia berada grup negara-negara korup dengan rangking tertinggi. Koruptor-koruptor di bangsa ini pun seperti orang tidak berhati nurani. Di tengah keadaan begitu banyak rakyat yang menderita akibat kemiskinan, uang rakyat tetap dihisap demi kepentingan sendiri. Pemerintah pun melakukan upaya-upaya untuk membersihkan penyakit bangsa ini. Di antaranya adalah membentuk badan seperti KPK, satgas mafia hukum dan lainnya yang diharapkan dapat bekerja efektif dan independen dalam memberantas korupsi. Tapi yang terlihat bahwa pemerintah hanya ingin memberikan angin segar kepada masyarakat yang sudah gerah tetapi tidak benar-benar mempunyai komitmen untuk memberantas korupsi.

Bisa kita lihat dari kasus-kasus besar seperti Bank Century, mafia hukum, sampai sekarang yang sedang hangat adalah kasus korupsi sesmenpora yang menyeret ikut paksa partai yang sedang berkuasa di negeri ini. Apa yang kita pelajari dari hal-hal ini adalah bahwa banyak tindakan pemerintah hanya mengupas kulit dan enggan untuk mencabut akarnya. Ya, walaupun penetapan menpora sebagai tersangka merupakan suatu kemajuan.  Kasus Bank Century tidak jelas sampai sekarang. Kasus mafia hukum, yang sampai dibentuknya sebuah Satgas Mafia Hukum, pun (sepertinya) berhenti.

KPK, badan independen bentukan pemerintah untuk melawan korupsi tanpa takut pun sempat mulai kehilangan kredibilitas di mata rakyat Indonesia. Saat KPK kini seakan sudah mulai memberikan harapan dalam melakukan pemberantasan korupsi, timbul berbagai penolakan dan usaha untuk memperlemah KPK yang datang salah satunya dari institusi wakil rakyat, DPR. Keadaan ini membuat kita seperti sudah tidak percaya lagi akan ada hari di mana bangsa Indonesia yang bebas dari korupsi. Janji pemerintah anti korupsi sudah terdengar hambar.

Sekarang kita berhenti menggantungkan semua pada pemerintah. Apa yang bisa kita lakukan? Pada judul saya memakai kata-kata ‘Panu bernama Korupsi’. Lalu saya juga menyebut korupsi sebagai virus dan penyakit, di samping saya menyebutnya sebagai sebuah budaya karena kita, ya kita, sudah beramai-ramai melakukannya, dengan di awali banyak dan berbagai macam permakluman. Korupsi adalah sebuah peyakit yang menular seperti disebabkan virus yang sangat berbahaya karena tidak menular lewat darah, air atau udara, tetapi menular lewat penglihaan dan pedengaran. Bayangkan sebuah penyakit yang menular lewat penglihatan dan pendengaran? Mengerikan bukan? Contoh sederhananya, orang yang melihat orang lain korupsi dengan leluasa dan tanpa rasa takut atau bersalah, secara tidak sadar akan tertarik untuk ikut melakukan hal yang sama.  Lalu seperti penyakit umumnya, korupsi yang terus dibiarkan akan tumbuh yang tadinya hanya kutil menjadi sebuah tumor ganas.

Untuk lebih  mengerti pemikiran korupsi sebagai penyakit ini, kita bisa melihat sebuah teori kriminal terkenal yang disebut Broken Windows, hasil pemikiran kriminolog Q. Wilson dan George Kelling. Dalam bukunya “Tipping Point” (yang merupakan internasional bestseller), penulisnya, Malcolm Gladwell, mengulas teori tersebut sebagai berikut:

“Wilson dan Kelling berpendapat bahwa kriminalitas merupakkan bagian tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah (orang akan tertarik ikut merusak rumah itu, ini kalimat dari saya), dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret, ketidakteraturan, dan pemalakan, kata para kriminolog itu, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius.”

Nah, tambahan saya, bahwa dari teori di atas sebenarnya dapat disimpulkan bahwa kriminalitas yang berkembang dan tumbuh menjadi besar dan akut, dilakukan oleh orang-orang yang tidak bodoh. Para kriminal ini menilai situasi terlebih dahulu sebelum timbul niat untuk melakukan kejahatan. Dan berlaku sebaliknya juga bahwa situasi itulah yang mebuat mereka punya inisiatif  melakukan tindak kriminal. Lalu, di sisi lain, saat seseorang nelihat fakta bahwa orang lain berhasil melakukan suatu tindak kriminal, akan ada sebuah virus yang tanpa disadari tetapi sangat kuat mengajak orang untuk melakukan hal yang sama. Namun yang paling membahayakan adalah, bahwa kecenderungan orang tersebut tidak hanya untuk melakukan kejahatan yang sama yang berhasil dilakukan orang sebelumnya, tetapi cenderung melakukan kriminalitas yang setingkat di atasnya. Akibatnya adalah kriminal yang tadi hanya sepele tumbuh mejadi tindak kejahatan tingkat satu.

Kesimpulan kedua dari teori di atas adalah bahwa permulaan kriminalitas yang besar (misal, korupsi) lahir dari sebuah tindak kejahatan atau kesalahan kecil yang tidak disadari dan/atau dibiarkan. Sama seperti orang yang membiarkan kaca rumah pecah dan tidak memperbaikinya sehingga pada akhirnya orang lain berpendapat bahwa rumah tersebut memang bisa/boleh dirusak.

Kita kembali kepada korupsi. Lalu apa bagaimana tentang korupsi yang sedang kita bahas ini? Perumpamaan korupsi sebagai sebuah peyakit menular menelurkan 2 point penting tentang fenomena korupsi, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Pertama, korupsi merupakan penyakit yang mengakar yang tidak bisa diberantas dengan menghukum para koruptor dan selesai. Pada acara Jakarta Lawyer Club (JLC), Ketua Badan Pengaudit Keuangan Indonesia (BPK) dan juga mantan ketua KPK mengatakan jika satu koruptor senior ditangkap, akan ada koruptor junior yang menggantikan.

Jika korupsi adalah penyakit yang mengakar, maka pengobatannya pun harus mengakar. Bukan menindak pelaku korupsi yang harus dilakukan, tetapi membuat tidak ada orang yang melakukan korupsi. Jika korupsi adalah budaya, budaya tersebut harus dihilangkan. Caranya ada dua (menurut saya), pertama hukum yang membuat jera, dan kedua pembentukan generasi penerus yang mempunyai karakter baik.

Point kedua korupsi berasal dari ketidakpekaan kita atau pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terlihat sepele. Termasuk saat kita tidak sadar telah melakukan hal yang salah.

Pada awal tulisan tentang pengakuan seorang dosen, hal yang saya tangkap dari pengakuan dosen tersebut adalah sebuah kesadaran akan kesalahan yang ia lakukan. Di luar hal “salah” yang dilakukan, dia sadar. Namun di atas kesadaran tersebut, dia belum bisa mengambil keputusan untuk melakukan hal yang benar karena memang negara ini membuat keadaan yang demikian. Saya ingat dia pun berkata punya anak-anak yang semua sekolah dan kuliah. Dan untuk ukuran seorang profesor yang akan sangat makmur di negara lain, ia harus mencari nafkah di luar gajinya untuk meghidupi keluarganya. Saya tidak membenarkan, tapi saya tidak akan membahas hal ini. Point yang ingin saya ambil adalah sebuah kesadaran dan pengakuan.

Tanpa sadar saat kita bersama-sama berteriak menentang korupsi, kita sama-sama melakukan korupsi dalam bidang lain. Saat kita bilang kita menolak korupsi, di saat yang sama kita yang berposisi sebagai mahasiswa mencontek dan menyepelekan serta menyelewengkan kewajiban belajar kita. Kita yang berposisi sebagai karyawan tidak melakukan tugas dengan baik dan curi-curi waktu telat masuk bahkan membolos. Dan penyelewengan lain (silahkan di list sendiri). Dan kita tidak menyadari bahwa penyelewengan-penyelewengan yang terlihat sepele seperti itu yang membuat budaya korupsi pada akhirnya.

Jika kembali pada pernyataan saya tentang dua cara menghapus korupsi sebelumnya, cara pertama dengan hukum yang membuat jera, menurut saya sudah agak sulit di negara ini. Karena korupsi yang terjadi secara massal sepertinya telah ikut menjangkiti institusi hukum. Dan cara yang paling baik adalah mempersiapkan generasi penerus yang jujur. Akan butuh waktu sekitar dua puluh lima tahun untuk melakukan hal ini. Sekarang pertanyaannya apakah kita telah mempersiapkan diri menjadi generasi penerus yang jujur? Atau generasi penggemar jalan pintas dan instan.

Selain itu, kita harus mempertajam kesadaran. Kesadaran yang akan mengingatkan kita saat salah, dan cepat-cepat memperbaiki diri. Kesadaran dan kepekaan ini yang akan menjaga jalan kita dari pengaruh budaya kriminal seperti korupsi.

Korupsi adalah sebuah panu. Maka harus diobati dari akarnya. Dan akar sebuah korupsi adalah pengabaian kita dari pelanggaran-pelanggaran kecil. Dan satu hal lagi mungkin kita harus membiasakan diri bersyukur akan apa yang kita miliki. Lalu alangkah baiknya jika kita hidup bukan untuk memikirkan perut kita sendiri. Membiasakan diri bersyukur akan menghindarkan kita dari keinginan memperoleh ini dan itu, yang pada akhirnya mengkondisikan diri kita sendiri untuk melakukan kejahatan. Tapi bila kita memberi diri untuk menolong orang lain, maka keinginan untuk mensejahterakan diri sendiri sampai merugikan orang lain pun tak’ akan datang.

Generasi penerus yang berakhlak mulia adalah obat dari panu ini, yang menjangkiti bangsa kita tercinta. Tetapi apakah kita akan menjadi generasi obat dari panu ini, atau menjadi penerus yang melanjutkan budaya korupsi, semua ditentukan dari apa yang kita lakukan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar