Pada suatu saat saya sedang kuliah,
seorang profesor, dosen saya yang sedang memberikan kuliah mengatakan sesuatu
hal yang sempat membuat penghuni kelas kaget dan terdiam. Setelah beberapa saat
memberikan komentar tentang korupsi di negara ini, beliau berkata bahwa negara
ini sendiri memaksa rakyatnya untuk korupsi. Dan setelah itu ia berkata lagi,
“Seperti saya juga korupsi.” Lalu setelahnya beliau mengutarakan korupsi yang
ia lakukan adalah korupsi waktu. Di mana seharusnya ia menyediakan waktu penuh
untuk universitas dan mahasiswanya, tetapi sebagian waktunya dipakai untuk
mengerjakan proyek di luar kampus.
Kita semua sudah akrab pasti dengan
kata korupsi yang terdapat pada judul artikel ini. Ya, korupsi. Setelah itu,
tanpa berusaha ingin tahu akan kelanjutan tulisan ini, pikiran kita mungkin
akan langsung mengeluarkan kata “Yah ini lagi. Udah-lah udah basi. Biar
orang-orang di pemerintahan sana saja yang ngurusin
itu” atau, “Ah bosen lah korupsi mulu.
Gak peduli“ atau mungkin pikiran yang
lainnya yang intinya kita sudah pasrah (atau tidak peduli?) akan keadaan negara kita sekarang yang sedang
diperbudak virus korupsi. Jika kita
bukan orang yang berpikir seperti itu, tentu saya sangat senang. Karena ada
orang (dan saya yakin masih banyak orang) yang peduli akan keadaan bangsa kita
ini dan rindu untuk sebuah perubahan. Dan fokus kali ini tentang korupsi.
Sudah kita tahu bahwa korupsi sudah
begitu membudaya di negeri ini. Indonesia berada grup negara-negara korup
dengan rangking tertinggi. Koruptor-koruptor di bangsa ini pun seperti orang
tidak berhati nurani. Di tengah keadaan begitu banyak rakyat yang menderita
akibat kemiskinan, uang rakyat tetap dihisap demi kepentingan sendiri.
Pemerintah pun melakukan upaya-upaya untuk membersihkan penyakit bangsa ini. Di
antaranya adalah membentuk badan seperti KPK, satgas mafia hukum dan lainnya yang
diharapkan dapat bekerja efektif dan independen dalam memberantas korupsi. Tapi
yang terlihat bahwa pemerintah hanya ingin memberikan angin segar kepada
masyarakat yang sudah gerah tetapi tidak benar-benar mempunyai komitmen untuk
memberantas korupsi.
Bisa kita lihat dari kasus-kasus
besar seperti Bank Century, mafia hukum, sampai sekarang yang sedang hangat
adalah kasus korupsi sesmenpora yang menyeret ikut paksa partai yang sedang
berkuasa di negeri ini. Apa yang kita pelajari dari hal-hal ini adalah bahwa
banyak tindakan pemerintah hanya mengupas kulit dan enggan untuk mencabut akarnya. Ya, walaupun penetapan menpora
sebagai tersangka merupakan suatu kemajuan. Kasus Bank Century tidak jelas sampai
sekarang. Kasus mafia hukum, yang sampai dibentuknya sebuah Satgas Mafia Hukum,
pun (sepertinya) berhenti.
KPK, badan independen bentukan
pemerintah untuk melawan korupsi tanpa takut pun sempat mulai kehilangan
kredibilitas di mata rakyat Indonesia. Saat KPK kini seakan sudah mulai
memberikan harapan dalam melakukan pemberantasan korupsi, timbul berbagai
penolakan dan usaha untuk memperlemah KPK yang datang salah satunya dari
institusi wakil rakyat, DPR. Keadaan ini membuat kita seperti sudah tidak
percaya lagi akan ada hari di mana bangsa Indonesia yang bebas dari korupsi.
Janji pemerintah anti korupsi sudah terdengar hambar.
Sekarang kita berhenti
menggantungkan semua pada pemerintah. Apa yang bisa kita lakukan? Pada judul
saya memakai kata-kata ‘Panu bernama Korupsi’. Lalu saya juga menyebut korupsi
sebagai virus dan penyakit, di samping saya menyebutnya sebagai sebuah budaya
karena kita, ya kita, sudah beramai-ramai melakukannya, dengan di awali banyak
dan berbagai macam permakluman. Korupsi adalah sebuah peyakit yang menular
seperti disebabkan virus yang sangat berbahaya karena tidak menular lewat
darah, air atau udara, tetapi menular lewat penglihaan dan pedengaran.
Bayangkan sebuah penyakit yang menular lewat penglihatan dan pendengaran?
Mengerikan bukan? Contoh sederhananya, orang yang melihat orang lain korupsi dengan
leluasa dan tanpa rasa takut atau bersalah, secara tidak sadar akan tertarik
untuk ikut melakukan hal yang sama. Lalu
seperti penyakit umumnya, korupsi yang terus dibiarkan akan tumbuh yang tadinya
hanya kutil menjadi sebuah tumor ganas.
Untuk lebih mengerti pemikiran korupsi sebagai penyakit
ini, kita bisa melihat sebuah teori kriminal terkenal yang disebut Broken Windows, hasil pemikiran
kriminolog Q. Wilson dan George Kelling. Dalam bukunya “Tipping Point” (yang merupakan internasional bestseller), penulisnya, Malcolm Gladwell, mengulas teori tersebut
sebagai berikut:
“Wilson dan Kelling berpendapat bahwa kriminalitas
merupakkan bagian tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah
rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan
pastilah di situ tidak ada yang peduli atau rumah itu tidak berpenghuni. Dalam
waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah (orang akan tertarik ikut
merusak rumah itu, ini kalimat dari saya), dan belakangan berkembang anarki yang
menyebar ke sekitar tempat itu. Di sebuah kota, awal yang remeh seperti
corat-coret, ketidakteraturan, dan pemalakan, kata para kriminolog itu, semua
setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih
serius.”
Nah, tambahan saya, bahwa dari
teori di atas sebenarnya dapat disimpulkan bahwa kriminalitas yang berkembang
dan tumbuh menjadi besar dan akut, dilakukan oleh orang-orang yang tidak bodoh.
Para kriminal ini menilai situasi terlebih dahulu sebelum timbul niat untuk
melakukan kejahatan. Dan berlaku sebaliknya juga bahwa situasi itulah yang
mebuat mereka punya inisiatif melakukan
tindak kriminal. Lalu, di sisi lain, saat seseorang nelihat fakta bahwa orang
lain berhasil melakukan suatu tindak kriminal, akan ada sebuah virus yang tanpa
disadari tetapi sangat kuat mengajak orang untuk melakukan hal yang sama. Namun
yang paling membahayakan adalah, bahwa kecenderungan orang tersebut tidak hanya
untuk melakukan kejahatan yang sama yang berhasil dilakukan orang sebelumnya,
tetapi cenderung melakukan kriminalitas yang setingkat di atasnya. Akibatnya
adalah kriminal yang tadi hanya sepele tumbuh mejadi tindak kejahatan tingkat
satu.
Kesimpulan kedua dari teori di atas
adalah bahwa permulaan kriminalitas yang besar (misal, korupsi) lahir dari
sebuah tindak kejahatan atau kesalahan kecil yang tidak disadari dan/atau dibiarkan.
Sama seperti orang yang membiarkan kaca rumah pecah dan tidak memperbaikinya
sehingga pada akhirnya orang lain berpendapat bahwa rumah tersebut memang bisa/boleh
dirusak.
Kita kembali kepada korupsi. Lalu
apa bagaimana tentang korupsi yang sedang kita bahas ini? Perumpamaan korupsi
sebagai sebuah peyakit menular menelurkan 2 point
penting tentang fenomena korupsi, baik di Indonesia maupun di negara-negara
lain. Pertama, korupsi merupakan penyakit yang mengakar yang tidak bisa
diberantas dengan menghukum para koruptor dan selesai. Pada acara Jakarta
Lawyer Club (JLC), Ketua Badan Pengaudit Keuangan Indonesia (BPK) dan juga mantan
ketua KPK mengatakan jika satu koruptor senior ditangkap, akan ada koruptor
junior yang menggantikan.
Jika korupsi adalah penyakit yang
mengakar, maka pengobatannya pun harus mengakar. Bukan menindak pelaku korupsi
yang harus dilakukan, tetapi membuat tidak ada orang yang melakukan korupsi. Jika
korupsi adalah budaya, budaya tersebut harus dihilangkan. Caranya ada dua
(menurut saya), pertama hukum yang membuat jera, dan kedua pembentukan generasi
penerus yang mempunyai karakter baik.
Point kedua korupsi berasal dari ketidakpekaan kita atau
pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terlihat sepele. Termasuk saat
kita tidak sadar telah melakukan hal yang salah.
Pada awal tulisan tentang pengakuan
seorang dosen, hal yang saya tangkap dari pengakuan dosen tersebut adalah
sebuah kesadaran akan kesalahan yang ia lakukan. Di luar hal “salah” yang
dilakukan, dia sadar. Namun di atas kesadaran tersebut, dia belum bisa
mengambil keputusan untuk melakukan hal yang benar karena memang negara ini membuat
keadaan yang demikian. Saya ingat dia pun berkata punya anak-anak yang semua
sekolah dan kuliah. Dan untuk ukuran seorang profesor yang akan sangat makmur
di negara lain, ia harus mencari nafkah di luar gajinya untuk meghidupi
keluarganya. Saya tidak membenarkan, tapi saya tidak akan membahas hal ini. Point yang ingin saya ambil adalah
sebuah kesadaran dan pengakuan.
Tanpa sadar saat kita bersama-sama
berteriak menentang korupsi, kita sama-sama melakukan korupsi dalam bidang
lain. Saat kita bilang kita menolak korupsi, di saat yang sama kita yang
berposisi sebagai mahasiswa mencontek dan menyepelekan serta menyelewengkan
kewajiban belajar kita. Kita yang berposisi sebagai karyawan tidak melakukan
tugas dengan baik dan curi-curi waktu telat masuk bahkan membolos. Dan penyelewengan
lain (silahkan di list sendiri). Dan kita tidak menyadari bahwa penyelewengan-penyelewengan
yang terlihat sepele seperti itu yang membuat budaya korupsi pada akhirnya.
Jika kembali pada pernyataan saya
tentang dua cara menghapus korupsi sebelumnya, cara pertama dengan hukum yang
membuat jera, menurut saya sudah agak sulit di negara ini. Karena korupsi yang
terjadi secara massal sepertinya telah ikut menjangkiti institusi hukum. Dan cara
yang paling baik adalah mempersiapkan generasi penerus yang jujur. Akan butuh
waktu sekitar dua puluh lima tahun untuk melakukan hal ini. Sekarang
pertanyaannya apakah kita telah mempersiapkan diri menjadi generasi penerus
yang jujur? Atau generasi penggemar jalan pintas dan instan.
Selain itu, kita harus mempertajam
kesadaran. Kesadaran yang akan mengingatkan kita saat salah, dan cepat-cepat
memperbaiki diri. Kesadaran dan kepekaan ini yang akan menjaga jalan kita dari
pengaruh budaya kriminal seperti korupsi.
Korupsi adalah sebuah panu. Maka harus
diobati dari akarnya. Dan akar sebuah korupsi adalah pengabaian kita dari
pelanggaran-pelanggaran kecil. Dan satu hal lagi mungkin kita harus membiasakan
diri bersyukur akan apa yang kita miliki. Lalu alangkah baiknya jika kita hidup
bukan untuk memikirkan perut kita sendiri. Membiasakan diri bersyukur akan
menghindarkan kita dari keinginan memperoleh ini dan itu, yang pada akhirnya
mengkondisikan diri kita sendiri untuk melakukan kejahatan. Tapi bila kita
memberi diri untuk menolong orang lain, maka keinginan untuk mensejahterakan
diri sendiri sampai merugikan orang lain pun tak’ akan datang.
Generasi penerus yang berakhlak
mulia adalah obat dari panu ini, yang menjangkiti bangsa kita tercinta. Tetapi apakah
kita akan menjadi generasi obat dari panu ini, atau menjadi penerus yang
melanjutkan budaya korupsi, semua ditentukan dari apa yang kita lakukan
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar